Sabtu, 13 September 2008

PESTA DEMOKRASI LOKAL DAN GAIRAH POLITIK WARGA

Padi Supertoy VS hak politik warga

Meski mungkin bukan sebuah rumusan dari serangkaian teoritis dari sebuah disiplin ilmu, namun jika kita mencermati kehidupan social pada era ini banyak sesuatu yang tiba-tiba muncul menjadi sebuah fenomena cukup menggelitik atau menarik perhatian kita.
Sebut saja sebuah keadaan atau kondisi kehidupan masyarakat sebagian besar dilingkungan kita, rasanya banyak yang mesti mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak terkait yang biasa mengurusi hak-hak publik. Ada kewajiban memberikan pendidikan social dan politik berwarga Negara yang baik dan benar serta memahami etika politik secara arif dan bijak ketika mendapati sebuah keadaan yang memaksa membuat urat syaraf kita kenceng dan bersitegang satu sama lain antara kelompok satu dengan kelompok lainnya dan komunitas satu dengan komunitas lainnya. Tentu saja masih dalam bingkai kepentingan masing-masing terutama kepentingan kelompok tertentu yang kerap kali menjumpai ketidak puasan yang berujung memaksakan kehendak atau mengeneralisir mimpi-mimpi public yang diadopsi untuk kepentingan tertentu.
Saat hak-hak politik warga disentuh dengan dalih hak demokrasi dan demi untuk mewujudkan tatanan warga Negara yang berdaulat, tentu saja banyak yang terlibat dan dilibatkan langsung dalam sebuah bingkai mekanisme serta seabreg aturan main yang ujung-ujungnya masih tetap kita pandang sebagai produk kekinian yang disebut dengan era kebebasan transfaransi dan nuansa demokrasi. Benarkah semua itu untuk kepentingan rakyat? Jawabannya tentu saja masih perlu dipertimbangkan kembali, berapa besarkan kepentingan rayak yang menjelma buah dari kampanye demokrasi republic ini? Seberapa pintar masyarakat demokrasi kita memahami kehidupan demokrasinya? Ini semua masih memerlukan proses pembuktian yang benar-benar diteliti dan dicermati secar ilmiah, jujur dan penuh dengan rasa keadilan.
Hamper setiap tahun selama kurun waktu kepemimpinan lima tahun yang berlaku berdasarkan Undang-undang yang berlaku dinegara kita ini, maka sepanjang itu pula guliran proses demokrasi menjadi bagian wacana dan parktik bagi hamper seluruh lapisan masyarakat dan warga Negara dibelahan bumi pertiwi yang kita cintai ini. Sejalan dengan itu pula muncul pemandangan dari tahun ketahun ibarat sebuah mekanisme arisan, dari daerah propinsi satu keproponsi yang lain, dari daerah kabupaten kota yang satu kekabupaten kota lainnya sesuai kedaulatan yang telah dimiliki berdasarkan wilayah territorial sebagai bagian dari Negara kesatuan republic Indonesia.
Proses pemilihan langsung kepala Daerah di hampir seluruh propinsi dan kabupaten/kota terjadi hampir sepanjang tahun dalam kurun waktu lima tahun sebuah priodisasi kepemimpinan dinegara ini.
Dari mulai mencari pemimpin tingkat rukun tetangga, rukung warga, kepala desa hingga bupati gubernur dan presiden pada setiap tahapan event demokrasi ini selalu menghiasi wajah-wajah anak bangsa dengan berbagai sisi pandang apresiasi dan pasistis serta sebaliknya fanatisme sebagian besar kelompok mengkristal menjadi bagian tidak terpisahkan dari denyut jantung demokrasi kita.
Hasilnya berbagai warna bendera partai politik, bentuk lambang serta gemerlapnya pernak pernik dan aksesoris partai plus aparat partai yang mulai congkak dan sombong serta konyolnya para petinggi alias politisi benar-benar menjadi santapan pembenaran warga yang masih sedikit tertinnggal dengan pemahaman politiknya. Dan yang terjadi adalah pesta politik local, regional dan skala nasional pada event lima tahunan tentu saja baru sebatas tontonan serta sedikit memberikan tuntutan agar masyarakat melek dan sedikit pelit berbagi suara untuk disalurkan kepada para peminatnya kecuali dengan imbalan tertentu meski baru sebuah janji-janji politik yang terkadang dangkal menggelikan. Sebut saja untuk suara seorang kepala desa atau suara para wakil rakyat diparlemen atau kepala daerah dikabupaten kota dan propinsi serta kepala Negara sebagai puncak hajatnnya demokrasi repiblik ini. Apa yang bias kita cermati dari fenomena demokrasi kita yang berjalan seperti pasukan baris berbaris yang memperagakan teori baris jalan ditempat, artinya maju selangkah untuk kemudian mundur karena intruksi mundur dari yang punya aturan.
Warga kerap kali tidak berdaya ketika kembali disodori sebuah pilihan dari banyak pilihan sementara yang harus dipilih tidak atau belum ada yang cocok dengan pilihan nurani masing-masing pemegang suara kedaulatan sebagai rakyat pemegang kekuasaan tertingi dalam mekanisme Negara kita sesuai pengakuan UU yang berlaku.
Aspirasi politik warga baru sebatas membuat sesuatu yang baru untuk kemudian menjadi barang biasa dan diperbaharui hanya dengan mengganti isu atau memoles sedikit produk baru dari sebuah kelemahan yang ada dari periode kekuasaan. Jagan pernah menyalahkan warga jika perseteruan elit politik berujung pada kejenuhan aspirasi politik warga. Jangan salahkan juga jika nilai parsitipatif warga dalam sebuah pesta demokrasi diberbagai tingkatannya cenderung terus mengalami penurunan karena ada sedikit kekecewaan serta banyak mendapatkan pendidikan politik ketidak jujuran anti menerima kekalahan serta lebih banyak mencekoki aspirasi public dengan janji dan janji yang sedikit bukti dan banyak menyimpangnya. Bolehlah kita belum bias aplikatif dari sebuah teori demokrasi yang telah banyak dirumuskan banyak ahli, namu juga sebaliknya kita lebih banyak kecenderungan menteorikan praktek karena nilainya lebih mudah dijangkau dari pada mempraktekan teori. Logikanya teori yang harus dipraktikan masih cukup memakan biaya tinggi karena harus dipelajari dan dicari sementara menteorikan praktik seolah telah menjadi hokum public tanpa banyak menyita pemikiran dapat mengalir dengan sendirinya, sebut saja sebagai sebuah ilustrasi, disaat warga petani gelisah dengan kegagalan praktik padi supertoy tapi para petani tidak pernah gelisah saat mempraktikan praktiknya bertani nenek moyang yang sudah turun temurun, meski dari sisi hasil yang didapat mungkin sama ruginya dengan program supertoy dimaksud.
Tapi apa yang terjadi kemudian jika sebuah produk disinggungkan dengan produk politis lima tahunan? Maka bukan Cuma program padi super toy yang melambung tapi juga sebuah program tanam padi sejenis yang diusung sebuah kekuatan politik lain kemuadian kembali muncul seolah-olah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sekenario perseteruan elit menjalang pesta demokrasi lima tahunan. Yang menjadi pertanyaan menggelitik kemudian adalah, akankah rakyat kembali terpengaruh dengan isu semacam itu hingga kembali menatapi pilihan demokrasinya dengan harus menahan hak suaranya untuk tidak disalurkan pada perseteruan itu?. Ujian kesadaran politik warga rasanya belum cukup tergugah meski praktek demokrasi jauh telah lebih dekat dan semakin sering, bahkan tidak tanggung-tanggung dicekoki iklan politik para politisi yang kian intens disejumlah kesempatan atau ruang dan waktu yang ada. Wallohu alam’.**jeembe**

Tidak ada komentar: